Bencana di Negeri Cincin Api

SEPti Online - Pandemi belum usai. Pertiwi kembali berduka. Gempa bumi dengan kekuatan 5,9 dan 6,2 skala richter kembali mengguncang bumi Sulawesi bagian barat.


Andi Maulana

Titik episentrum keduanya tak begitu jauh, namun gempa kedua yang dianggap paling banyak menimbulkan kerusakan berada pada koordinat 2,98 LS dan 118,94 BT, berlokasi di darat pada jarak 6 kilometer arah Timur Laut Majene, Sulawesi Barat dengan kedalaman 10 kilometer.

Jika memerhatikan lokasi episentrumnya, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika ( BMKG) kedua gempa tergolong dalam jenis gempa kerak dangkal (shallow crustal earthquake) akibat aktifitas sesar aktif

Pakar geologi Universitas Hasanuddin, Prof. Dr.Eng. Ir. Adi Maulana, ST. M.Phil. saat dihubungi oleh readtimes.id mengatakan bahwa daerah Sulbar terutama Mamuju- Majene, pada dasarnya menurut peta geologi sejak 70-an merupakan wilayah rawan gempa.

” Dalam peta geologi sejak tahun 70-an, wilayah Sulbar ini sudah dideteksi rawan gempa karena ditemukannya sebuah patahan sebagai sumber gempa dimana memanjang dari arah Majene ke utara sampai ke Mamuju” tukas Adi

Lebih jauh pihaknya juga menjelaskan bahwa atas dasar ini kemudian pembangunan di daerah Mamuju-Majene tidak boleh asal, alias harus memerhatikan syarat-syarat tertentu yang kemudian disebut building code dalam peraturan perundang-undangan bangunan.

Seperti yang diketahui akibat dari gempa ini beberapa bangunan publik seperti Kantor Gubernur Sulawesi Barat, Rujab Ketua DPRD Sulbar, Masjid Polda, Hotel Maleo dan beberapa rumah warga yang berada di wilayah Kabupaten Majene- Mamuju mengalami kerusakan parah.

Ini yang kemudian dilihat oleh Profesor Geologi termuda Unhas ini, sebagai bentuk dari tidak diakomodirnya building code dan planning space dalam menjalankan pembangunan di kawasan Sulawesi Barat yaitu di Mamuju – Majene

Ketika disinggung lebih lanjut mengenai kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam mengikuti aturan tata ruang sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang saat membangun kawasan perkotaan, menurutnya hal itu disebabkan oleh rendahnya literasi terkait bencana di tataran pengambil kebijakan.

” saya pikir aturannya sudah jelas dalam undang-undang, namun mengapa kurang aware atau peduli tak lain disebabkan oleh rendahnya literasi terkait bencana di tataran pemerintah “

Menurut Adi pemerintah selama ini masih melihat bahwa penanggulangan dan pencegahan bencana itu hanya dibutuhkan saat terjadi bencana. Padahal sejatinya pencegahan dan penanggulangan sejak dini atau mitigasi dan adaptasi itu perlu dilakukan sejak jauh -jauh hari untuk meminimalisir dampak bencana yang lebih besar.

Hal ini sudah tentu tak dapat diabaikan apabila memerhatikan letak wilayah Indonesia yang masuk dalam lingkaran kawasan cincin api pasifik yang memungkinkan terjadi bencana setiap saat.

Sumber dapat kunjungi readtimes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages